Selasa, 17 November 2009

SK : Menganalisis wilayah dan perwilayahan

KD : Menganalisis pola persebaran, spasial, hubungan, serta interaksi sosial antara desa dan kota

Rabu, 29 April 2009

IDENTIFIKASI CIRI-CIRI PEDESAAN/PERKOTAAN

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Geografi sebagai ilmu pengetahuan memberikan gambaran mengenai fenomena yang terjadi di permuukaan bumi baik fenomena fisik maupun fenomena sosial. Secara umum fenomena ini disebut sebagai fenomena geosfer yaitu perwujudan peristiwa atau gejala yang terjadi karena keberadaan sesuatu dalam ruang dipermukaan bumi yang bila ditinjau dari aspek – aspek keruangan(letak, luas, bentuk dan batasnya dalam ruang) atau secara keruangan, memiliki pola – pola tersendiri yang dapat dibedakan dari tempat atau ruang yang satu ke yang lain(lucianus sudaryono, 2007). Untuk itu sebagai ahli geografi dalam melihat setiap masalah yang dikaji berdasarkan konsep fenomena geosfer. Fenomena geosfer tidak mungkin berdiri sendiri pasti dipengaruhi unsur – unsur lainya misalnya terjadinya banjir disuatu tempat pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya seperti kemiringan lereng, jenis tanah, jenis penggunaan lahan, banyaknya curah hujan, dan panjang lereng. Dalam mengkaji wilayah ahli geografi menggunakan tiga analisis yaitu analisis keruangan, analisis keekologian, dan analisis kewilayahan. Analisis keruangan menjelaskan keberadaan suatu objek kajian dalam ruangn yang memiliki pola tersendiri dari tempat atau ruangan lain. Analisis ekologi mejelaskan tentang hubungan atau interaksi antara unsur – unsur yang ada disuatu tempat. Sedangkan analisis kewilayahan memadukan analisis keruangan dan analasis ekologi dalam mengkaji wilayah sehingga pada akhirnya dapat dilakukan prediksi dan pengendalaian terhadap lingkungan.

Keberadaan kota dan desa merupakan hal yang penting bagi ahli geografi. Perbedaan yang mendasar antara desa dan kota menyebabkan pengetahuan tentang arti dan ciri – ciri keduanya menjadi penting. Hal ini menyebabkan pengkajian wilayah tersebut apakah termasuk desa atau kota menjadi penting. Disamping itu penentuan wilayah termasuk kota atau desa akan berpengaruh terhadap arah pembangunan yang akan dilaksanakan disana sehingga potensi pada tempat tersebut dapat dimaksimalkan.

Tujuan

Untuk mengidentifikasi ciri – ciri desa, wilayah pinggiran kota, dan kota
Manfaat
Manfaat Teoritis
Hasil tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada masyarakat tentang wilayahnya.

Manfaat Praktis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah daerah agar dalam melakukan pembangunan sesuai dengan tujuan dari tempat atau wilayah yang akan dilakukan pembangunan.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kota
Pengertian Kota Banyak para ahli yang menulis tentang pengertian kota. Menurut Prof. Drs. R. Bintarto Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. Hofmeister seorang ahli geografi menjelaskan secara umum bahwa kota adalah suatu pemusatan keruangan dari tempat tinggal dan tempat kerja manusia yang kegiatannya umuum disektor sekunder dan tersier, dengan pembagian kerja kedalam dan arus lalu lintas yang beraneka antara bagian – bagiannya dan pusatnya, yang pertumbuhannnya sebagian besar disebabkan oleh tambahan kaum pendatang, dan mampu melayani kebutuhan barang dan jasa bagi wilayah yang jauh letaknya. Max Weber mendefinisikan kota yaitu apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya dipasar lokal.

Awal terbentuknya kota adalahh sangat sederhana yaitu sekelompok manusia tinggal disuatu tempat yang tinggal menetap(pastoral). Hariyono(2007) membagi perkembangan kota menjadi beberapa tahap yaitu dimulai pada kota pra industri yang bersifat agraris sangat menonjol, kemudian berkembang menjadi kota industry dengan sistem ekonomi natural berubah menjadi capital, dikuti oleh kota post modern, pada kota inii teknologi sudah berkembang sangat pesat. Kebutuhan manusia sebagian besar dilayani oleh hasil teknologi. Kota global adalah kota yang penduduknya banyak melakukan aktifitas di negeri lain. dan tterakhir adlah kota cosmopolitan yang merupakan kota masa depan yang masih merupakan impian Menurut Hartshorn(1980) dalam Koestoer(2001) membagi kota menjadi tiga pola yaitu; a). Pola linier, kota – kota berjajar sepanjang jalur transportasi(suungai, kereta api, dan pantai). b).Pola kantong, merupakan kota – kota besar yang mengelompok. c). Pola hierarki, bebrapa kota dengan ukuran yang berbeda dalam satu wilayah terpola dengan teratur.

Ciri – ciri Kota
Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme). Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

Desa kota(urban fringe)

Desa kota(urban fringe) atau yang disebut sebagai daerah suburbia menurut kurtz dan Eicher(Daldjoeni, 1998) mengajukan lima definisi dari rural – urban fringe sebagai berikut:Kawasan dimana tata guina lahan rural dan urban saling bertemu dan mendesak di preferi kota, Rural urban fringe meliputi semua suburbia, kota satelet dan teritorium lain yang berlokasi langsung dilua kota dimana tenaga kerja terlibat di bidang non agraris, Suatu kawasan yang letaknya diluar perbatasan kota yang resmi, tetapi masih ada didalam jarak melaju(comuting distance), Kawasan diluar kota yang penduduknya berkiblat ke kota(urban oriented residents, Suatu kawasan pedesaaan yang terbuka, yang dihuni oleh t6orang – orang yang bekerja di kota., Suatu daerah imana bertemu mereka yang berpangupa jiwa di kota dan di desa. Whynne – Hammond (Daldjoeni, 1998) seorang geograf memberikan empat alasan tumbuhnya wilayah pinggiran kota sebagai berikut: pertama meninggkatnya pelayanan trasportasi kota yang memudahkan orang untuk bertempat tinggal jauh dari tempatnya bekerja. Kedua, bertambahnya jumlah penduduk suburban, ketiga, meningkatnya taraf kehidupan penduduk suburbia memungkinkan mendapatkan rumah yang lebih baik, entah jenis sewaan atau milik sendiri. Keempat, gerakan pendirian bangunan pada masyarakat yang dibantu pemerintah lewat kredit bank yang ditunjuk, malancarkan pemilikan rumah di luar kota.

Desa
Pengertian desa
Dalam arti umum desa dapat diartikan sebagai pemukiman manusia yang terletak diluar kota dan penenduduknya bermatapencahariansebagai petani. Bintarto(1977)dalam Daldjoeni(1998) mendifinisikan desa secara geografi yaitu perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur – unsur geografis, sosial, ekonomi, politis dan cultural yang ada dalam hubungannya dari pengaruh timbale balik dengan daerah – derah lainnya. Ada juga yang mendifinisikan desa sebagai pemukiman yaitu suatu tempat dimana penduduk tinggal bersama untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ciri – ciri desa

Banyak sekali buku dan referensi yang mengkaji tentang ciri – ciri desa. Latar belakang kondisi geografis suatu desa berpengaruh terhadap ciri – ciri desa Daldjoeni(1998) menguraikan ciri – ciri desa sebagai berikut. Desa dan masyarakatnya mempunyai hubungan yang erat dengan alam sekitarnya. Iklim berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka. Penduduk desa merupakan unit kerja yang jumlahnya relatif kecil dan struktur ekonomi umumnya agraris.

Masyarakat desa mewujudkan suatu paguyuban atau menurut sosiologi disebut suatu Gameinschaft dimana ikatan kekeluargaan sangat erat. Dalam makalah yang ditulis oleh Pusat Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra dalam www.google.co.id/desa disebutkan beberapa ciri masyarakat pedesan. Diantaranya adalah: Sederhana, sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal yaitu; secara ekonomi memang tidak mampu dan secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”, Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-ungguh” apabila, bertemu dengan tetangga, berhadapan dengan pejabat, berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan, berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi, dan berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya\ Guyub, kekeluargaan. Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka. “Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.
Menghargai (“ngajeni”) orang lain. Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.

Suka gotong-royong. Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.\
Religius. Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
No Deskripsi Fenomena Keterangan 16 persawahan sawah Kedesaan 17 persawahan Sawah Jalan Desa Jalan Dusun Kedesaan 18 persawahan sawah Kedesaan 25 Persawahan Sawah Jalan Dusun Kedesaan 26 persawahan Sawah Kedesaan 27 Permukiman Jalan dusun Jalan desa Rumah penduduk Kekotaan 28 persawahan Sawah Rumah Penduduk Kedesaan 35 Persawahan Sawah Rumah Penduduk Kedesaan 36 Persawahan Sawah Rumah Penduduk Jalan dusun Kedesaan 37 Persawahan Sawah Kedesaan 38 Persawahan Sawah Kedesaan 39 Persawahan Sawah Kedesaan 40 Persawahan Sawah Kedesaan 43 Pemukiman Rumah Penduduk Jalan Dusun Kekotaan 45 Persawahan Sawah Kedesaan 46 Persawahan Sawah Jalan Dusun Kedesaan 47 Persawahan Sawah Kedesaan 48 Persawahan Sawah Jalan Desa Kedesaan 49 Persawahan Sawah Kedesaan 53 Persawahan Sawah 54 Permukiman Rumah penduduk Sawah Kekotaan 55 Persawahan Jalan dusun Sawah Kedesaan 63 Persawahan Sawah Kedesaan 64 Persawahan Sawah Kedesaan 65 Persawahan Sawah Jalan Dusun Kedesaan 66 Persawahan Sawah Jalan Dusun Jalan Desa Kedesaan 72 Persawahan Sawah Jalan Dusun Kedesaan 73 Persawahan Sawah Jalan Dusun Kedesaan 74 Persawahan Sawah Kedesaan 75 Persawahan Sawah Kedesaan 76 Persawahan Sawah Kedesaan Analisis Grid Peta Desa Sukorame Dengan melihat tabel diatas maka dapat diketahui: = 3 dan = 100 Kemudian dilakukan perhitungan untuk mengetahui desa sukorame termasuk kota, desa kota, atau kota sebagai berikut: MGr = 3 % menunjukkkan bahwa desa sukorame termasuk DESA sesuai dengan klasifikasi Russwerm yaitu <> Data Monogarafi Desa Sukorame Kecamatan Sukorame Kabupaten Lamongan bulan februari tahun 2009 terlampir.
Pembahasan
Data Monografi menunjukkan bahwa Desa Sukorame adalah desa yang terletak di Kabupaten Lamongan yang mempunyai batas – batas sebagai berikut; Sebelah utara berbatasan dengan Desa Banjar gondang, Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kedung kumpul, Sebelah barat berbatasan dengan desa Mragel, dan Sebelah Timur berbatasan dengan desa Sewor dan mempunyai luas desa/ kelurahan seluas 616,574 Ha.
Perhitungan dengan metode klasifikasi Russwerm menunjukkan bahwa desa sukorame termasuk dalam kelompok desa yaitu sebanyak 3(tiga) persen dengan sebagian besar penggunaan lahan adalah sawah, hal ini didukung dengan data monongrafi yaitu sebanyak 5.708.729 Ha adalah sawah dan ladang.
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor agraris yaitu sebanyak 4240 orang bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini sesuai ciri – ciri desa yang diungkapkan oleh Daldjoeni(1998) yaitu Penduduk desa merupakan unit kerja yang jumlahnya relatif kecil dan struktur ekonomi umumnya agraris. Hal senada juga yaitu penduduk desa sukorame mengolah tanahnya sesuai dengan musim yang ada di Indonesia yaitu pada musim penghujan mereka menanam padi dan sedangkan pada musim kemarau mereka menanam jagung atau tembakau sehingga sesuai dengan Ciri pertama yang di ungkapkan oleh Daldjoeni yaitu desa dan masyarakatnya mempunyai hubungan yang erat dengan alam sekitarnya. Iklim berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka.

Selain yang diungkapkan diatas masyarakat Desa Sukorame memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi hal ini dapat terlihat dari kehidupan sehari – hari mereka yang saling membantu daalam segala hal. Misalnya dalam memanen padi,. Mereka tidak menggunakan sistem bayaran tetapi mereka mengunakan sistem gantian yaitu bergantian dalam membantu memanen padi dari satu orang ke orang lainnya atau bisa disebut. Disamping itu rasa gotong – royong yang tinggi juga menjadi ciri kehidupan sehari – hari mereka. Seperti dalam membangun rumah atau jalan, mereka tidak harus dibayar untuk melaksanakan semua itu, mereka hanya perlu disuruh dan diberi makan sesuai dengan kebutuhan maka mereka akan melaksanakan dengan seungguh – sungguh. Ciri kekeluargaan dan gotong – royong yang tinggi sesuai dengan yang di ungkapkan dalam makalah yang ditulis Pusat Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra.

BAB IV

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan perhitungan klasifikasi Russwerm diperoleh hasil bahwa Desa Sukorame termasuk dalam kelompok desa yaitu sebanyak 3 %. Selain itu berbagai ciri – ciri yang menunjukkan bahwa Desa Sukorame adalah Desa juga telah diungkapkan dengan jelas pada pembahasan seperti struktur ekonomi umumnya agraris, iklim berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka, kekeluargaan dan gotong – royong yang tinggi. Sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa Desa Sukorame Kecamatan Sukorame Kabupaten Lamongan termasuk wilayah desa.

Saran

Analisis menunjukkan bahwa Desa Sukorame Kecamatan Sukorame Kabupaten Lamongan adalah desa sehingga disarankan agar pembangunan desa sukorame lebih dimaksimalkan sesuai dengan tujuan pembangunan desa.


Daftar Pustaka
Daldjoeni. 1998. Geogrfi desa kota. Bandung: PT Alumni. Hariyono, P. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta: PT Bumi Aksara. Koestoer, dkk. 2001. Dimensi Keruangan Kota. Jakarta: UI press. Makalah Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Dalam www.Google.co.id/desa diakses tanggal 11 april 2009 jam 14.05.

Sabtu, 28 Maret 2009

GEOLOGI INDONESIA "CEKUNGAN"



CEKUNGAN SUNDA

Wilayah Kepulauan Nusantara merupakan pertemuan tiga lempeng yang sampai kini aktif bergerak. Tiga lempeng tersebut adalah lempeng eurasia, lempeng indo australia, dan lempeng pasifik. Pertemuan lempeng-lempeng itu menyebabkan Interaksi ketiga lempeng tadi mengakibatkan pengaruh pada hampir seluruh kepulauan yang ada di Indonesia. Pengaruh tersebut dapat menimbulkan patahan atau sesar yaitu pergeseran antara dua blok batuan baik secara mendatar, ke atas maupun relatif ke bawah blok lainnya. Patahan atau sesar ini merupakan perpanjangan gaya yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan lempeng utama. Patahan atau sesar inilah yang akan menghasilkan gempa bumi di daratan dan tanah longsor.

Selain itu pertemuan Lempeng Samudera India dengan Lempeng Eurasia juga menghasilkan lajur gunung api yang memanjang dari Sumatera sampai Nusa Tenggara dan membentuk sebuah rangkaian gunung api. Rangkaian gunung api ini dikenal dengan istilah busur vulkanik dan berhenti di Pulau Sumbawa, kemudian berbelok arah ke Laut Banda menuju arah utara ke daerah Maluku Utara, Sulawesi Utara dan terus ke Filipina.

Pergerakan lempeng kerakbumi yang saling bertumbukan akan membentuk zona sudaksi dan menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, yang akan membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempabumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu. Selain itu terbentuk juga berbagai jenis cekungan pengendapan batuan sedimen seperti palung (parit), cekungan busurmuka, cekungan antar gunung dan cekungan busur belakang. Pada jalur gunungapi/magmatik biasanya akan terbentuk zona mineralisasi emas, perak dan tembaga, sedangkan pada jalur penunjaman akan ditemukan mineral kromit.

Tektonik Lempeng
Penyebab dari pergerakan benua-benua dimulai oleh adanya arus konveksi (convection current) dari mantle (lapisan di bawah kulit bumi yang berupa lelehan). Arah arus ini tidak teratur, bisa dibayangkan seperti pergerakan udara/awan atau pergerakan dari air yang direbus. Terjadinya arus konveksi terutama disebabkan oleh aktivitas radioaktif yang menimbulkan panas.
Dalam kondisi tertentu dua arah arus yang saling bertemu bisa menghasilkan arus interferensi yang arahnya ke atas. Arus interferensi ini akan menembus kulit bumi yang berada di atasnya. Magma yang menembus ke atas karena adanya arus konveksi ini akan membentuk gugusan pegunungan yang sangat panjang dan bercabang-cabang di bawah permukaan laut yang dapat diikuti sepanjang samudera-samudera yang saling berhubungan di muka bumi. Lajur pegunungan yang berbentuk linear ini disebut dengan MOR (Mid Oceanic Ridge atau Pematang Tengah Samudera) dan merupakan tempat keluarnya material dari mantle ke dasar samudera. MOR mempunyai ketinggian melebihi 3000 m dari dasar laut dan lebarnya lebih dari 2000 km, atau melebihi ukuran Pegunungan Alpen dan Himalaya yang letaknya di daerah benua. MOR Atlantik (misalnya) membentang dengan arah utara-selatan dari lautan Arktik melalui poros tengah samudera Atlantik ke sebelah barat Benua Afrika dan melingkari benua itu di selatannya menerus ke arah timur ke Samudera Hindia lalu di selatan Benua Australia dan sampai di Samudera Pasifik. Jadi keberadaan MOR mengelilingi seluruh dunia. Kerak (kulit) samudera yang baru, terbentuk di pematang-pematang ini karena aliran material dari mantle. Batuan dasar samudera yang baru terbentuk itu lalu menyebar ke arah kedua sisi dari MOR karena desakan dari magma mantle yang terus-menerus dan juga tarikan dari gaya gesek arus mantle yang horisontal terhadap material di atasnya. Lambat laun kerak samudera yang terbentuk di pematang itu akan bergerak terus menjauh dari daerah poros pematang dan ‘mengarungi’ samudera. Gejala ini disebut dengan Pemekaran Lantai Samudera (Sea Floor Spreading).

Keberadaan busur kepulauan dan juga busur gunung api serta palung Samudera yang memanjang di tepi-tepi benua merupakan fenomena yang dapat dijelaskan oleh Teori Tektonik Lempeng yaitu dengan adanya proses penunjaman (subduksi). Oleh karena peristiwa Sea Floor Spreading maka suatu saat kerak samudera akan bertemu dengan kerak benua sehingga kerak samudera yang mempunyai densitas lebih besar akan menunjam ke arah bawah kerak benua. Dengan adanya zona penunjaman ini maka akan terbentuk palung pada sepanjang tepi paparan, dan juga akan terbentuk kepulauan sepanjang paparan benua oleh karena proses pengangkatan. Kerak samudera yang menunjam ke bawah ini akan kembali ke mantle atau jika bertemu dengan batuan benua yang mempunyai densitas sama atau lebih besar maka akan terjadi mixing antara material kerak samudera dengan benua membentuk larutan silikat pijar atau magma.

Pergerakan Lempeng
Berdasarkan arah pergerakannya, perbatasan antara lempeng tektonik yang satu dengan lainnya (plate boundaries) terbagi dalam 3 jenis, yaitu divergen, konvergen, dan transform.

Batas Divergen
Terjadi pada dua lempeng tektonik yang bergerak saling memberai (break apart). Ketika sebuah lempeng tektonik pecah, lapisan litosfer menipis dan terbelah, membentuk batas divergen.
Pada lempeng samudra, proses ini menyebabkan pemekaran dasar laut (seafloor spreading). Sedangkan pada lempeng benua, proses ini menyebabkan terbentuknya lembah retakan (rift valley) akibat adanya celah antara kedua lempeng yang saling menjauh tersebut.
Pematang Tengah-Atlantik (Mid-Atlantic Ridge) adalah salah satu contoh divergensi yang paling terkenal, membujur dari utara ke selatan di sepanjang Samudra Atlantik, membatasi Benua Eropa dan Afrika dengan Benua Amerika.

Batas Konvergen
Terjadi apabila dua lempeng tektonik tertelan (consumed) ke arah kerak bumi, yang mengakibatkan keduanya bergerak saling menumpu satu sama lain (one slip beneath another).
Wilayah dimana suatu lempeng samudra terdorong ke bawah lempeng benua atau lempeng samudra lain disebut dengan zona tunjaman (subduction zones). Di zona tunjaman inilah sering terjadi gempa. Pematang gunung-api (volcanic ridges) dan parit samudra (oceanic trenches) juga terbentuk di wilayah ini.

Batas Transform
Terjadi bila dua lempeng tektonik bergerak saling menggelangsar (slide each other), yaitu bergerak sejajar namun berlawanan arah. Keduanya tidak saling memberai maupun saling menumpu. Batas transform ini juga dikenal sebagai sesar ubahan-bentuk (transformfault). Batas transform umumnya berada di dasar laut, namun ada juga yang berada di daratan, salah satunya adalah Sesar San Andreas (San Andreas Fault) di California, USA. Sesar ini merupakan pertemuan antara Lempeng Amerika Utara yang bergerak ke arah tenggara, dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke arah baratlaut. Sumber: The Dynamic Earth, USGS dalam http://m-darajat.blogspot.com/2009_01_01_archive.html

CEKUNGAN DI PAPARN SUNDA

Cekungan Sumatera


Cekungan Sumatra Utara
Pola geologi dan tatanan stratigrafi regional cekungan Sumatra Utara secara umum telah banyak diketahui berkat hasil aktivitas eksplorasi minyak dan gas alam serta pemetaan bersistem pulau Sumatra dalam skala 1:250.000. Keith (1981)dalam google.co.id/cekungan sumatera membuat pembagian stratigraf Tersier Cekungan Sumatra Utara menjadi tiga kelompok yaitu Kelompok I sebagai fase tektonik, pengangkatan dan pengerosian, berumur Eosen hingga Oligosen Awal. Kelompok II merupakan fase genang laut yang dimulai dengan pembentukan formasi-formasi dari tua ke muda yaitu Formasi Butar, Rampong, Bruksah, Bampo, Peutu dan Formasi Baong. Kelompok III adalah perioda regresif dengan pembentukan kelompok Lhoksukon.
Jika dilihat dari proses sedimentasi di cekungan sumatera utara. Kecepatan sedimentasi dan penurunan dasar sedimen ataupun cekungan pada awal pembentukan cekungan relatif lambat kemudian dilanjutkan dengan kecepatan sedimentasi lambat tetapi kecepatan penurunan dasar sedimen ataupun cekungan sangat cepat antara 15.5-12.4 juta tahun lalu.

Penurunan cepat dasar cekungan tersebut merupakan akibat mulainya rifting di laut Andaman dan pada saat inilah terbentuk serpih laut dalam Formasi Baong yang kaya material organik dan menjadi salah satu batuan induk potensial di daerah Aru. Periode antara 12.4-10.2 juta tahun lalu ditandai dengan kecepatan sedimentasi cukup besar tetapi penurunan dasar sedimen atau cekungan lebih lambat sebagai awal pengangkatan Bukit Barisan atau dikenal sebagai tektonik Miosen Tengah. Batupasir Baong Tengah terbentuk pada periode ini dan merupakan salah satu batuan waduk (reservoir) daerah Aru. Pada 9.3-8.3 juta tahun lalu kecepatan sedimentasi sangat besar tetapi diikuti pula penurunan dasar sedimen atau cekungan yang sangat besar sehingga penurunan sangat dipengaruhi. oleh pembebanan sedimen disamping akibat penurunan tektonik. Pada waktu tersebut terbentuk endapan klastik kasar Keutapang Bawah, diendapkan dalam lingkungan delta atau laut dangkal dan merupakan juga batuan waduk (reservoir)penting di daerah Aru.

Model penurunan tektonik daerah Aru pada awalnya menunjukkan penurunan lambat dilanjutkan penurunan sangat cepat antara 12.4-10.2 juta tahun lalu akibat rifting di Laut Andaman. Pada Miosen Tengah atau antara 12.4-9.3 juta tahun lalu pola penurunan relatif lambat, stabil atau terjadi pengangkatan akibat tektonik Miosen Tengah. Penurunan kembali cepat antara 9.3-8.3 juta tahun lalu dan menjadi sangat lambat antara 5.3-4.4 juta tahun lalu sebelum terjadi pangangkatan Pilo Pleistosen.

Cekungan Sumatra Tengah
Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan belakang busur. Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995 dalam www.google.co.id/cekungan sumatera). Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut–Tenggara. Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi beberapa tahap, yaitu :
Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara.
Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman Kapur.
Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting.

Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani.

Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.
Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara. Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya.

Cekungan Sumatra Selatan
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.

Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat laut - tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah. Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Menurut Salim et al. (1995) Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia. Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.

Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.

Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .

Batuan sedimen tersebut telah mengalami gangguan tektonik sehingga terangkat membentuk lipatan dan pensesaran. Proses erosi menyebabkan batuan terkikis kemudian membentuk morfologi yang tampak sekarang. Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah merupakan satu cekungan besar yang dipisahkan oleh Pegunungan Tigapuluh. Cekungan ini terbentuk akibat adanya pergerakan ulang sesar bongkah pada batuan pra tersier serta diikuti oleh kegiatan vulkanik.

Daerah cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi depresi Jambi di utara, Sub Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan Pelembang Selatan atau Depresi Lematang, masing-masing dipisahkan oleh tinggian batuan dasar (“basement”).Di daerah Sumatera Selatan terdapat 3 (tiga)antiklinurium utama, dari selatan ke utara: Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo Benakat dan Antiklinorium Palembang. Pensesaaran batuan dasar mengontrol sedimen selama paleogen. Stratigrafi normal memperlihatkan bahwa pembentukan batubara utara-selatan dimana pada bagian barat daerah penyelidikan sungai-sungai mengalir kearah sungai Semanggus, sedangkan pada bagian timur daerah penyelidikan sungai sungai mengalir ke arah timur dengan Sungai Baung dan Sungai Benakat sebagai sungai Utama.

Cekungan Jawa Timur
Secara geologi Cekungan Jawa Timur terbentuk karena proses pengangkatan dan ketidakselarasan serta proses-proses lain, seperti penurunan muka air laut dan pergerakan lempeng tektonik. Tahap awal pembentukan cekungan tersebut ditandai dengan adanya half graben yang dipengaruhi oleh struktur yang terbentuk sebelumnya. Tatanan tektonik yang paling muda dipengaruhi oleh pergerakan Lempeng Australia dan Sunda. Secara regional perbedaan bentuk struktural sejalan dengan perubahan waktu. Aktifitas tektonik utama yang berlangsung pada umur Plio Pleistosen, menyebabkan terjadinya pengangkatan daerah regional Cekungan Jawa Timur dan menghasilkan bentuk morfologi seperti sekarang ini. Struktur geologi daerah Cekungan Jawa Timur umumnya berupa sesar naik, sesar turun, sesar geser, dan pelipatan yang mengarah Barat-Timur akibat pengaruh gaya kompresi dari arah Utara-Selatan.

Tatanan geologi Pulau Jawa secara umum dibagi berdasarkan posisi tektoniknya. Secara struktural Blok Tuban dikontrol oleh half graben yang berumur Pre–Tersier. Peta Top struktur daerah telitian dapat dilihat pada Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola Meratus, arah Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur – Barat (E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut - Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur - Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya.
Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra-Tersier di daerah Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur.

Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan. Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan. Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda. Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir hingga Oligosen Akhir.
Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga sekarang.

Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu pula. Penampang stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam Pulunggono, 1994 menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu Cekungan Jawa Utara bagian barat dan Cekungan Jawa Utara bagian timur yang terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa. Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri memanjang relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa sesar-sesar dengan arah utara selatan dan timur-barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di kelompok cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya mempunyai geometri memanjang timur-barat dengan peran struktur yang berarah timur-barat lebih dominan.

Cekungan Kalimantan Timur
Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Adanya interaksi konvergen atau kolisi antara 3 lempeng utama, yakni lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Asia yang membentuk daerah timur Kalimantan (Hamilton, 1979).Evolusi tektonik dari Asia Tenggara dan sebagian Kalimantan yang aktif menjadi bahan perbincangan antara ahli-ahli ilmu kebumian. Pada jaman Kapur Bawah, bagian dari continental passive margin di daerah Barat daya Kalimantan, yang terbentuk sebagai bagian dari lempeng Asia Tenggara yang dikenal sebagai Paparan Sunda.

Pada jaman Tersier, terjadi peristiwa interaksi konvergen yang menghasilkan beberapa formasi akresi, pada daerah Kalimantan.Selama jaman Eosen, daerah Sulawesi berada di bagian timur kontinen dataran Sunda. Pada pertengahan Eosen, terjadi interaksi konvergen ataupun kolisi antara lempeng utama, yaitu lempeng India dan lempeng Asia yang mempengaruhi makin terbukanya busur belakang samudra, Laut Sulawesi dan Selat Malaka. Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan yang dihasilkan oleh perkembangan regangan cekungan yang besar pada daerah Kalimantan.Pada Pra-Tersier, Pulau Kalimantan ini merupakan salah satu pusat pengendapan, yang kemudian pada awal tersier terpisah menjadi 6 cekungan sebagai berikut :1 Cekungan Barito, yang terletak di Kalimantan Selatan, 2.Cekungan Kutai, yang terletak di Kalimantan Timur,3. Cekungan Tarakan, yang terletak di timur laut Kalimantan,4 Cekungan Sabah, yang terletak di utara Kalimantan,5.Cekungan Sarawak, yang terletak di barat laut Kalimantan,6. Cekungan Melawai dan Ketungau, yang terletak di Kalimantan Tengah

Kerangka tektonik di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh perkembangan tektonik regional yang melibatkan interaksi antara Lempeng Samudera Philipina, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasian yang terjadi sejak Jaman Kapur sehingga menghasilkan kumpulan cekungan samudera dan blok mikro kontinen yang dibatasi oleh adanya zona subduksi, pergerakan menjauh antar lempeng, dan sesar-sesar mayor. Cekungan Kutai terbentuk karena proses pemekaran pada Kala Eosen Tengah yang diikuti oleh fase pelenturan dasar cekungan yang berakhir pada Oligosen Akhir. Peningkatan tekanan karena tumbukan lempeng mengakibatkan pengangkatan dasar cekungan ke arah Barat Laut yang menghasilkan siklus regresif utama sedimentasi klastik di Cekungan Kutai, dan tidak terganggu sejak Oligosen Akhir hingga sekarang.
Pada Kala Miosen Tengah pengangkatan dasar cekungan dimulai dari bagian barat Cekungan Kutai yang bergerak secara progresif ke arah Timur sepanjang waktu dan bertindak sebagai pusat pengendapan. Selain itu juga terjadi susut laut yang berlangsung terus menerus sampai Miosen Akhir. Bahan yang terendapkan berasal dari bagian Selatan, Barat dan Utara cekungan menyusun Formasi Warukin, Formasi Pulubalang dan Formasi Balikpapan.

Formasi Pamaluan (Tomp), Batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih batugamping dan batulanau; berlapis sangat baik. Batu pasir kuarsa merupakan batuan utama, kelabu kehitam-kecoklatan, berbutir halus-sedang, terpilah baik, butiran membulat-bulat tanggung, padat, karbonan dan gamping. Setempat dijumpai struktur sedimen seilang-silang dan perlapisan sejajar. Tebal lapisan antara 1-2 meter. Batu lempung tebal rata-rata 45 cm, serpih, kelabu kecoklatan-kelabu tua, padat, tebal sisipan antara 10 -20 cm. Batu gamping kelabu pejal, berbutir sedang kasar, setempat berlapis dan mengandung foraminifera besar. Batu lanau tua kehitaman. Formasi Pemaluan merupakan batuan palling bawah yang tersinggkap di lembar Samarinda dan bagian atas formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh. Tebal formasi lebih kurang 2000 meter. Berumur Oligosen sampai awal Miosen.

Formasi Bebuluh (Tomb), Batugamping terumbu dengan sisipan batu gamping pasiran dan serpih, warna kelabu padat, mengandung foraminifera besar, berbutir sedang. Setempat batu gamping menghablur, terkekar tak beraturan. Serpih kelabu kecoklatan berseling dengan batupasir halus kelabu tua kehitaman. Foraminifera besar yang dijumpai antara lain : Lepidocyclina Sumatraensis Brady, Miogypsina Sp. Miogupsinaides SPP. Operculina Sp., menunjukan umur Miosen awal – Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan laut dangkal dengan ketebalan sekitar 300 meter. Formasi Bebuluh tertindih selaras oleh Formasi Pulau Balang.
Formasi Pulubalang (Tmpb), Perselingan antara graywacke dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batu lempung, batubara, dan tuf dasit. Batupasir graywacke, kelabu kehijauan, padat, tebal lapisan antara 50 – 100 cm. Batupasir kuarsa, kelabu kemerahan, setempat tufan muda kekuningan, mengandung foraminifera besar. Batugamping, coklat muda kekuningan, mengandung foraminifera besar, batugamping ini terdapat sebagai sisipan atau lensa dalalm batupasir kuarsa, tebal lapisan 10 – 40 cm. di S. Loa Haur, mengandung foraminifera besar antara lain Austrotrilina howchina, Borelis sp., Lepidocyclina sp., Myogypsina sp., menunjukan umur Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Batulempung, kelabu kehitaman, tebal lapisan 1 – 2 cm. Setempat berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa.

Formasi Balikpapan (Tmbp), perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir kuarsa, putih kekuningan, tebal lapisan 1 – 3 m, disisipi lapisan batubara, tebal 0,5 – 5 m. Batupasir gampingan, coklat, berstruktur sedimen lapisan bersusun dan silang siur, tebal lapisan 20 – 40 cm, mengandung Foraminifera kecil, disisipi lapisan tipis karbon. Lempung, kelabu kehitaman, setempat mengandung sisa tumbuhan, oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan setempat mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Lanau gampingan, berlapis tipis; serpih kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping pasiran, mengandung Foraminifera besar, moluska, menunjukan umur Miosen Akhir bagian bawah – Miosen Tengah bagian atas. Lingkungan pengendapan delta, dengan ketebalan 1000 – 1500 m..
Formasi Kampungbaru (Tpkb), Batupasir kuarsa dengan sisipan lempung, serpih; lanau dan lignit; pada umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa putih, setempat kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur, setempat mengandung lapisan tipis oksida besi atau kongkresi, tufan atau lanauan, dan sisipan batupasir konglomeratan atau konglomerat dengan komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah dan lempung, diameter 0.5 – 1 cm, mudah lepas. Lempung, kelabu kehitaman mengandung sisa tumbuhan, batubara/ lignit dengan tebal 0,5 – 3 m, koral. Lanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi, teballl 1 – 2 m. Diduga berumur Miosen Akhir – Pilo Plistosen, lingkungan pengendapan delta – laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras dan setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan. Endapan Alluvium, Kerikil, pasir dan lumpur terendapkan dalam lingkungan sungai, rawa, delta dan pantai.

Secara umum wilayah Kepulauan Nusantara merupakan pertemuan tiga lempeng yang sampai kini aktif bergerak. Tiga lempeng tersebut adalah lempeng eurasia, lempeng indo australia, dan lempeng pasifik. Pergerakan tiga lempeng tersebut menyebabkan patahan atau sesar yaitu pergeseran antara dua blok batuan baik secara mendatar, ke atas maupun relatif ke bawah blok lainnya, menghasilkan lajur gunung api, membentuk zona sudaksi dan menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, yang akan membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempabumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu. Selain itu terbentuk juga berbagai jenis cekungan pengendapan batuan sedimen seperti palung (parit), cekungan busurmuka, cekungan antar gunung dan cekungan busur belakang. Cekungan-cekungan yang terbentuk di cekungan busur belakangan adalah cekungan sumatera utara, cekungan sumatera tengah, cekungan sumatera selatan, cekungan jawa, dan cekungan Kalimantan.